Pages

Selasa, 19 Oktober 2021

Sajak "Di Kebon Binatang"

Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya; katanya kepada suaminya, “Alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu!”

Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.


-Sapardi Djoko Damono “Di Kebon Binatang” ( Mata Pisau,1993, hlm 51)-

Di suatu hari Minggu yang cerah, sebuah hari di mana pandemi sudah lenyap dari dunia dan cuaca bersahabat, cocok untuk bepergian luar rumah apalagi untuk mbojo. Sepasang suami-istri yang baru menikah beberapa bulan memutuskan berekreasi ke kebon binatang pada hari Minggu itu. Sesampai di sana mereka masih saja bergandengan tangan erat, layaknya muda-mudi yang masih kasmaran dimabok cinta. Tak ketinggalan mengenakan kaos pasangan berwarna sama, kaos polo berwarna biru langit, ingin memamerkan kekompakan di depan publik. Sebelum memasuki area kandang-kandang binatang, di dekat penjualan tiket ada penjualan asesoris, terbelilah bando untuk mereka berdua. Bando-bando berbentuk hewan lucu yang ada di kebon binatang. Supaya terlihat menggemaskan jikalau mereka berswafoto. Mas Adam, sang suami memilih bando jerapah dan mbak Hawa, memilih bando berbentuk rusa.

Kandang demi kandang mereka hampiri berurutan, kandang burung warna-warni, kandang para primata; gorila, simpanse, kera; kandang singa, kandang jerapah, kandang beruang hingga kandang kuda nil, yang terlihat sedang joget balerina di dalam air. Tak lupa mereka beruda berpose narsis berswafoto untuk diunggah di media sosial. Berharap banyak yang memberi jempol melihat kemesraan berdua…berfoto di depan jeruji kandang.

Sampailah perhentian mereka pada kandang reptil, di sana ada kolam besar dengan beberapa ekor buaya di tepian, kandang iguana, tak ketinggalan kandang ular di sudut area. Di dalam kandang ular terdapat sebuah batang pohon yang sengaja ditaruh di dalam kandang, agar binatang panjang bersisik dan bermata bulat keemasan bisa bergantungan dan bergerak merayap sambil melilitinya.

Seketika, mata ular dan Mbak Hawa saling bertatapan… ziiiing… kontak mata intens terjadi di antara mereka berdua. Sebagai seorang wanita penyuka keindahan dan pemuja cinta, melihat kulit ular berkilauan langsung terbersit acara-acara fashion show yang digelar oleh berbagai merk mode terkenal dunia. Karena ini sudah mendekati akhir tahun, maka merk-merk dunia seperti LV, Hermes, Prada dan Dior sudah berlomba menggelar pameran koleksi pakaian dan asesories model terbaru yang akan dipasarkan pada musim mendatang. Undangan-undangan dibagikan kepada para selebritas demi gaung promosi. Pagelaran dapat ditonton daring dari belahan dunia mana pun, Mbak Hawa ikut mantengi dari laptop rumah, tidak ingin ketinggalan sedikit pun gaya terbaru yang akan tren tahun mendatang. Benak dan pikiran Mbak Hawa langsung melayang, kulit ular mengingatkannya pada koleksi sepatu dan tas yang dipamerkan di acara LV beberapa hari lalu. Dia sudah sempat searching-searching pilihan warna dan harganya. Langsung terpikirkan, ingin merayu Mas Adam demi menambah koleksi tas di lemarinya. Dia membayangkan sambil tersenyum-tersenyum sendiri, dapat memamerkan tas terbarunya saat bertemu teman-temannya di arisan kompleks.

Ular yang menatap Mbak Hawa dari balik jeruji berpikir keheranan, melihat seorang wanita tersenyum-senyum saat melihat dirinya. Ingatan ular langsung melayang pada cerita mbahnya sebelum meninggal, yang katanya diceritakan oleh mbah, dari mbah buyut, dari mbah-mbah buyutnya lagi.

Kisahnya terjadi di Taman Eden, sebuah taman yang diairi sungai bercabang empat, yang masing-masing cabangnya mengalir ke Hawila, Kusy, Tigris dan Efrat. Taman Eden itu indah, penuh warna, penuh buah yang lezat dan berlimpah. Semua penghuninya bebas menikmati semua hasil bumi Taman Eden, tanpa perlu bersusah payah. Hidupnya hanya makan dan bersantai menikmati keindahan. Mbah moyang ular terkenal paling cerdik di antara semua makhluk yang hidup di darat. Mbah ular bercerita “Kalau bukan gara-gara nenek moyang manusia, kita gak perlu susah-susah merayap pakai perut. Duh, manusia itu memang mbencekno. Tanya-tanya dewe, dijawab bener malah nyalahno.” 
Ular muda bertanya “Memangnya manusia tanya soal apa mbah? Kok sampai bikin susah dunia per-ularan” 
“Manusia perempuan itu, yang rambutnya panjang, jalannya melenggok kemayu megal megol, penasaran soal buah Pohon Pengetahuan. Katanya, Allah melarang dia makan buah itu karena bisa mati kalau makan atau menjamahnya. Lha, mbah moyang kita kan cuma jawab setahunya kalau hal itu tidak benar. Memakan buah itu hanya akan tahu mana yang baik dan mana yang jahat, tidak sampai meninggal.” Mbah melanjutkan “Perempuan itu sendiri yang tetep ngeyel mau makan buah itu, malah suaminya ikut diojok-ojoki ikut makan, katanya buahnya enak dan segar. Daging buahnya krenyes-krenyes manis berair”
“Terus apa hubungannya sama kaum kita menjadi tidak berkaki mbah?”
“Allah tahu kalau manusia melanggar aturan, Dia marah kepada manusia pria, lalu pria itu bilang kalau manusia perempuan yang nyuruh dia makan. Manusia perempuan gantian menyalahkan mbah moyang ular, dibilang menipunya hingga tergoda untuk memakan buah itu. Begitulah, semuanya kena amarah Allah, tak ketinggalan kita kaum ular menjadi kaum terkutuk di antara semua binatang peliharaan dan binatang liar di bumi. Sepanjang hidup harus melata di debu, merayap dengan perut. Yah, nasib….nasib.”

Ular muda kembali memikirkan kehidupannya dari balik jeruji. Dia belum lama menjadi penghuni. Kehidupannya terjamin meski di balik jeruji. Dia selalu makan teratur. Tikus segar, kodok segar tak pernah terlambat dikirim ke kandangnya. Tapi dia tetap merindukan kebebasannya, berpuas memburu tikus dan kodok yang berkeliaran di malam hari. Dalam keheningannya, dia memikirkan nasib tetangganya seekor beruang kutub penghuni kompleks sebelah, Baltazar, baru saja ditembak mati oleh penjaganya. Padahal Baltazar seekor beruang yang ramah, jadi korban hanya karena asumsi dan ketakutan penjaga belaka. Baltazar sering bercerita, betapa dia berusaha menikmati kehidupannya yang jauh dari habitat, “Dari balik jerujiku di kebun binatang, aku menemukan sebuah duniayang serba baru, dengan pesona-pesona dan cacat-cacatnya….” Kata-kata berikutnya begitu terhormat dan menginspirasi penghuni kandang lainnya “Aku juga tidak perlu ke mana-mana untuk menangkap keberagaman menakjubkan manusia itu sendiri. Sama seperti hari punya ribuan nuansa warna yang mengilhamimu untuk hidup, manusia punya ribuan wajah yang menghilhami cinta.” (Kenang-kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub, Claudio Orrego Vicuna, Marjin Kiri, 2021). Ular mendadak menjadi mellow mengingat pesan-pesan Baltazar. Meski dalam kurungan, Baltazar masih bisa menikmati pemandangan di luaran.

Lalu ular mulai berandai-andai seandainya dia hidup di Sunda atau di Bali, barangkali nasibnya akan lebih baik. Di sana kaum ular itu diajeni, sebagai perlambang kesuburan dan pelindung dewi padi. Ular di sana disayang-sayang, tidak dikejar-kejar maut dan tongkat pemukul. Masuk keluar rumah warga tidak perlu umpet-umpetan. Penduduk juga tidak lebay, teriak-teriak kalau ada ular masuk. Gambaran ular di sana benar-benar baik, disanjung mendatangkan sehat dan bahagia. Huh, beda benar nasibnya dengan ular keturunan taman Eden, yang dianggap sebagai pendosa besar. Sekarang, dia hanya bisa mengikuti saran Baltazar, menikmati ‘keindahan’ dunia luar dari balik jeruji.

Kesadarannya membawanya kembali mengamati pasangan yang masih sibuk narsis di depan kandangnya. Mbak Hawa dengan mentelnya gelayutan merangkul Mas Adam. Jurus-jurus rayunya sudah mulai bekerja. Setelah berfoto, dia kembali melihat ular sambil berkata “Mas… mas, kulit ulone uapik yo Mas, mirip koleksi tas eLVi Sepring Samer 2022, cocok banget ki nek tak nggo arisan. Aku wis cek regane cuman sepuluh ewu dolar, sama ongkos jastip soko Paris paling cuman nambah sepuluh juta rupiah Mas. Konco-koncoku mesti podo meri Mas. Kowe juga bakal dipuji-puji sebagai suami sayang istri mas.Hihihihi…” Mbak Hawa ngerayu sambil terkekeh-kekeh. Mas Adam langsung tersontak, lengan Mbak Hawa langsung diseret menjauh dari kandang ular. Dia teringat tagihan-tagihan baju dan sepatu Prada istrinya bulan lalu masih menumpuk di meja rumah. Masih perlu dicicil 10 kali lagi.



Indri 
yang bukan bersuami Mas Adam :)))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...