Pages

Sabtu, 31 Juli 2021

Olimpiade dan Perempuan

Setelah tertunda satu tahun, Olimpiade Tokyo 2020 diselenggarakan tahun 2021 ini. Demam Olimpiade melanda dunia, pandemi terlupakan barang sejenak, paling tidak hingga 8 Agustus mendatang. Media yang selama beberapa bulan terakhir terus menerus menyuguhkan berita Covid-19 kini berganti menayangkan siaran langsung berbagai cabang pertandingan  Olimpiade. Meski digelar tanpa penonton, semangat sportivitas dan dukungan masyarakat untuk masing-masing negara terus mengalir lewat media sosial. Tidak mengurangi euforia kehadiran, masyarakat hadir di dunia maya. Sorak sorai lapangan tergantikan cuitan-cuitan Twitter. Kejutan demi kejutan turut meramaikan momen bersejarah yang (seharusnya) terselenggara 4 tahun sekali. Beberapa atlet peringkat satu dunia berhasil dijegal oleh atlet yang tidak dielukan. Beragam komentar dukungan juga hujatan terus membanjiri momen-momen yang berjalan. Ada yang menerima kekalahan dengan lapang dada seraya mengapresiasi jerih payah atletnya, namun ada juga yang dongkol, tidak puas, kecewa karena jagoannya menyia-nyiakan kesempatan langka untuk memperoleh kemenangan. Hari demi hari, satu persatu pemain bertumbangan. Sebagian harus mendahului pulang dengan tangan hampa, sebagian masih tinggal untuk meneruskan perjuangan membela negara, dan sebagian dipastikan setidaknya membawa pulang satu medali emas atau perak ataupun perunggu sebagai bukti kemenangan bela negara.


Tahun ini, beberapa atlet wanita menjadi pencuri perhatian menjadi saksi sejarah perhelatan olahraga dunia. Pagi tadi, Indonesia boleh bergembira, pertama kali dalam sejarah perbulutangkisan Indonesia di Olimpiade. Pasangan ganda putri, Greysia Polii dan Rahayu Apriani lolos ke babak final setelah mengkandaskan pasangan Korea Selatan. Warganet mengelu-ngelukan mereka berdua yang telah mengangkat nama Indonesia ke dunia. India, berhasil meloloskan pemain anggar wanita pertamanya dalam seleksi Olimpiade melalui Bhavani Devi. Meski tidak memenangkan satu pun medali, Bhavani telah menjadi salah satu kebanggaan bagi negara. Salah satu negara tetangga kita, Filipina, bersuka cita luar biasa setelah atlet angkat besi wanitanya, Hidilyn Diaz berhasil memperoleh medali emas. Menjadi tawa campur haru luar biasa bagi Filipina, yang mana setelah 97 tahun mengikuti perhelatan olahraga akbar dunia, perjuangan panjang mereka berbuah dengan menelurkan emas pertama mereka. Korea Selatan, salah satu pemanah wanitanya, An San berhasil mengukir sejarah.  An San merupakan atlet putri pertama yang mendapatkan tiga buah medali emas di cabang panahan tunggal  sejak Olimpiade tahun 1904. Ironisnya, bukan pujian yang didapat melainkan kritik pedas dan respon sinis yang dilontarkan para netizen anti-feminis negaranya sendiri, hanya karena potongan rambut pendeknya seperti laki-laki dianggap sebagai dukungan gerakan feminisme. 

Meski gerakan kesetaraan-gender sudah digemborkan di berbagai negara, hal ini masih menjadi momok, khususnya bagi negara yang mendewakan patriarki. Korea Selatan termasuk salah satunya. Pria masih dianggap mempunyai derajat lebih tinggi, berhak atas upah serta jabatan yang lebih tinggi dibanding wanita. Beberapa tahun yang lalu, jika kedapatan masyarakat yang membaca buku bertema emansipasi wanita atau menyajikan isu feminisme dianggap tabu dan berdosa. Menjadikan pembacanya, tak peduli dia seorang pesohor, pembaca tersebut akan tetap diserang dan mendapat berbagai ujaran kebencian dari para kaum anti-feminis. 


Di tahun 2018, pembaca buku “Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982” pernah mengalami perlakuan serupa. Buku yang ditulis oleh Cho Nam-joo di tahun tersebut memicu perdebatan sengit antara masyarakat pro dan kontra kesetaraan gender di Korea sendiri. Lewat tulisannya, Cho menggambarkan kehidupan seorang wanita bernama Kim Jiyeong yang mengalami perlakuan seksisme sejak kecil di keluarganya. Kejadian demi kejadian terus berlanjut hingga menginjak masa remaja, perlakuan kepada siswa laki-laki dan perempuan juga dibedakan. Siswa laki-laki mendapatkan pengakuan dan prioritas dibanding murid perempuan. Saat dewasa, masuk dalam kehidupan berumah tangga, perlakuan tidak setara terus dialami di dunia kerja juga lingkungan tinggalnya. Membuatnya perempuan tersebut menderita depresi dan penyakit kejiwaan. Cho menggambarkan bahwa hal sepele dapat menjadi seksisme, menyudutkan gender tertentu sehingga tidak mendapatkan kehidupan yang setara. Pada tahun 2019 novel ini diangkat ke layar lebar, berhasil menggaet Jung Yumi dan Gong Yoo sebagai pemain utama. Menuai kontroversi dan dikritik habis-habisan sejak proses produksi belum dimulai. Namun , di luar dugaan, pada masa penayangan, film ini justru mendapat banyak respon positif dari para penonton. Ulasan positif tidak hanya dari dalam negri, namun juga dari luar Korea Selatan. Membuka pandangan masyarakat akan bahaya laten misogini dan seksisme, meski mungkin hanya ucapan sambil lalu yang terlihat sepele, namun bila ditumpuk terus menerus akan menjadi hal yang mematikan bagi seseorang.


Beda lagi dengan google-doodle yang muncul pada halaman utama pencarian Google hari ini. Terlihat sebuah gambar kartun seorang wanita berkulit cokelat, memakai pakaian Minang berwarna kombinasi merah tua dan merah muda, dengan beberapa lembar kertas bertuliskan melayang-layang, ditambah logo google di bagian belakang dibentuk dari sulur-sulur daun berwarna hijau. Dengan mengklik gambar tersebut akan dibawa ke halaman yang memuat biografi tokoh tersebut, Sariamin Ismail. Dari sinilah saya ‘berkenalan’ dengan beliau, seorang novelis berasal dari Talu, Sumatera Barat. Salah satu penulis kelahiran 1909 yang termasuk dalam angkatan Poejangga Baroe. Meski belum pernah membaca satu pun karyanya ( dan memang saya masih buta tentang sastra Indonesia akibat sistem pendidikan masa lalu yang kurang mendukung), dari biografi yang tertulis di wikipedia dapat dibaca bahwa Sariamin termasuk salah satu wanita yang berjuang untuk kaum perempuan, di mana pada masa itu pendidikan untuk perempuan masih merupakan hal yang langka. Dia pernah menulis di majalah yang dikelola kaum perempuan, menjadi wartawan dan penulis yang vokal di majalah perempuan “Soeara Kaoem Iboe Soematra”. Lewat majalah ini dia mengutuk poligami dan mengedepankan relasi keluarga inti. Dia juga aktif sebagai guru perempuan di Diniyah School. Sambil mengajar dia terus menulis juga bergabung dalam organisasi politik, mengharuskannya memakai beragam nama samaran, demi menghindarkan dirinya dari tangkapan. Hingga akhir hayat dia terus menulis dan menulis. Jadi penasaran juga dengan nenek novelis satu ini, karena setelah sejenak ubek-ubek saya belum menemukan jejak tulisannya di dunia maya. Mungkin suatu saat bisa berjodoh mendapatkan tulisannya dari sebuah buku lawasan.


Indri , 31 Juli 2021
masih menantikan final Badminton Olimpiade

*Untuk sementara menjadi blog Sinau Nulis ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...