"Penuh dengan orang-orang yang wajahnya kita kenal,tapi berapa banyak dari mereka yang benar-benar memahami dirimu ?"
Ungkapan "Masa remaja adalah masa yang paling indah" rupanya tidak berlaku bagi seorang Eun Hee. Bagaimana tidak, gadis 14 tahun terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dengan seorang kakak laki dan kakak perempuan, dibesarkan dengan lingkungan rumah susun yang sangat sederhana , kedua orang tuanya seharian harus mencari nafkah dengan berjualan kue beras. Eun Hee sering melihat kakak perempuannya membolos bahkan membawa teman pria tidur di kamar mereka. Kakak laki-lakinya merupakan kebanggan sang ayah, selalu mendapat perhatian dan semua yang terbaik di rumah itu , tak ayal pun sering berlaku semena-mena, memukul Eun Hee dengan tongkat kendo apabila tidak mau melakukan perintahnya. Perang mulut bahkan menjurus kekerasan fisik oleh kedua orang tuanya merupakan pemandangan yang biasa terjadi di depan anak-anak. Anehnya, keesokan hari kedua orangtuanya sudah duduk dan berbincang seperti biasa. Tidak ada kehangatan yang Eun Hee dapatkan di dalam keluarga, dia tidak bisa berbagi akan apa yang dialami kepada ayah ibunya maupun saudaranya. Hidupnya benar-benar sendiri dan mandiri bahkan tanpa pendampingan keluarga saat dia harus menjalani pemeriksaan tumor dan biopsi.
Pun di sekolahnya yang khusus sekolah wanita, Eun Hee hidup dalam kesepian dan kesendirian, sering tertidur di kelas karena kelelahan membantu usaha keluarga. Teman-teman merundungnya hanya karena dia anak pemilik kios kue beras yang tidak pandai secara akademis, tak jarang terlontar kalimat "Gadis bodoh seperti itu tidak akan bisa kuliah, mereka hanya bisa menjadi pembantu rumah kita". Bahkan dia menempati posisi pertama kuesioner anak paling nakal di kelas.
Pelarian dari masalah dan kesendirian berujung pada pencarian cinta Eun Hee kepada Ji Wan, anak SMA sekolah lain. Tiap bertemu Ji Wan senyum selalu tercecah di wajahnya, terlebih lagi pujian yang terus mengalir dari mulut Ji Wan membuatnya semakin melayang. Dan.. yah masa kanak-kanak sudah lewat, selamat datang masa remaja , mari kita berciuman dan lanjut tidur di kamar selagi rumah tidak ada orang.
Cintanya kepada Ji Wan juga bukan merupakan jawaban akan kegalauannya. Segera Ji Wan mendapat gandengan baru, Eun Hee kembali lagi tenggelam dalam kesepian. Teman satu-satunya tinggal Ji Sook, sahabat sekaligus teman di kursus mandarin. Hidup Ji Sook tidak beda jauh dengan Eun Hee. Ji Sook sering mengalami perlakuan kasar oleh kakak laki-lakinya dan dia pun juga terbuka tentang kehidupannya pada Eun Hee, "Ingin tahu sesuatu tentang orangtuaku ? mereka tidak berani saling menatap satu sama lain." Mereka berdua tempat saling mengungkapkan masalah satu sama lain.
Lagi-lagi relasi antar dia dan sahabatnya sempat retak karena merasa dikhianati, tapi kemudian berhasil direkatkan kembali dengan bantuan guru baru di kursus mandarin mereka, Kim Young JI ( sekilas namanya mengingatkan saya pada Kim Ji Young 1982 haha..). Seorang guru yang perawakannya tidak menarik, sederhana, bahkan perokok, namun banyak mengajarkan mereka refleksi-refleksi kehidupan. Dari situlah Eun Hee semakin terbuka pada Young Ji, dan berbagi perasaannya. Young Ji pun melihat masa lalu dirinya tersirat dari Eun Hee.
Sebagai genre coming-age, Kim Bo Ra selaku penulis dan sutradara wanita yang baru di dunia perfilman, berhasil menjadikan House of Hummingbird ini sebagai film remaja yang lengkap dengan segala sisi kehidupan, sebab akibat dan pergumulannya. Dia memadukan antara masalah sosial dan psikologi dengan mulus, sehingga kita benar-benar menjadi Eun Hee itu sendiri.
Penonton dibawa berefleksi betapa rumitnya kehidupan seorang remaja cewek yang sedang mencari jati diri dan identitas. Saat masa remaja merupakan masa mereka mencari teman mencurahkan isi hati dan perasaan, masa dimana mereka ingin bercerita sebanyak-banyaknya, masa dimana mereka harus 'berjuang' mengendalikan hormon-hormon yang bereaksi, masa dimana mereka ingin mencoba berbagai macam relasi. Pada akhirnya House of Hummingbird menunjukkan bahwa relasi yang berusaha dibangun semua punya kelemahan dan rentan putus begitu saja, termasuk relasi Eun Hee dengan Bu Young Ji juga tidak dapat dipertahankan.
Hening.... diam....tidak banyak dialog ..pergeseran kamera dan adegan slow motion semakin membawa penonton hanyut ke dalam perasaan Eun Hee.
Kim Bo Ra dengan cerdas menyelipkan metafora setelah beberapa adegan, seperti saat ayah dan ibu Eun Hee selesai cek cok sampai melemparkan lampu meja dan melukai lengan sang ayah. Keesokan hari, tanpa dialog, hanya menampilkan adegan lengan ayah terbalut perban dan lampu yang sudah pecah. Menggambarkan bahwa sesuatu yang sudah retak / luka tidak mungkin kembali utuh / sembuh seperti sediakala.
Simbol lainnya sewaktu Ji Wan kembali menjalin hubungan dengan Eun Hee dan tiba-tiba mama Ji Wan mendatangi dan menggeret Ji Wan pulang. Malam harinya diceritakan Eun Hee dan Bu Young Ji melewati rumah-rumah yang terkena gusur, dengan dialog "Mereka tidak senang kalau rumah mereka diambil" seakan menunjukkan bahwa mama Ji Wan tidak setuju anak kebanggaannya menjadi milik orang lain, apalagi hanya seorang anak pemilik kios kue beras.
Tak ketinggalan Kim Bo Ra menyentil masalah patriarki yang sangat kompleks dan diagungkan di masa itu. Mulai dari bagaimana ayah sangat berkuasa, anak laki-laki merupakan kebanggan keluarga jadi harus sekolah yang terbaik, hingga bagaimana anak perempuan harus 'dikalahkan' dalam segala hal demi kesuksesan saudara laki-lakinya.
Yah.. feminisme dulu merupakan hal yang tabu di Korea Selatan, baru sekitar 3 tahun terakhir ini dunia perfilman Korea berani mengangkat tema-tema seperti ini. Saat Kim Ji Young 1982 masih berwujud novel belum diangkat menjadi film, para pembacanya pun mendapat hujatan dari para kaum pria karena dinilai mengagungkan feminisme. Saat itu wanita tidak bisa hidup setara dengan pria , mereka tidak bisa berekspresi dengan bebas, semua harus dipimpin dan dikendalikan oleh pria di keluarga. Syukurlah lambat laun kesetaraan berhasil diperjuangkan, bahkan saat ini film-film dengan tokoh sentral wanita mendapatkan perhatian khusus di kalangan penonton.
Berlatar tahun 1994, tim sinematografi menggunakan berbagai ornamen interior dan alat komunikasi yang ada pada masa itu seperti pager dan telepon koin. Palet warna klasik dan berasa vintage ikut menghidupkan suasana . Tak ketinggalan menyelipkan kejadian nyata di tahun tersebut lewat tayangan televisi tabung, seperti pertandingan Korea Selatan di piala dunia , mangkatnya presiden Korea Utara Kim Il Sung, hingga robohnya jembatan Seongsu yang menjadi klimaks dalam film ini. Pelan tapi pasti, lewat 'bencana' yang dialaminya Eun Hee justru berhasil merajut relasi yang sudah rusak dengan keluarganya. Sang ayah yang acuh menjadi pecah dalam tangis ketika mengetahui bahwa anak perempuannya harus operasi dan ada kemungkinan cacat. Demikian pula relasi Eun Hee dengan kakaknya ketika tahu bahwa kakaknya selamat dari kecelakaan di jembatan.
Tidak dipungkiri, kita baru sadar akan berharganya sesuatu, saat sesuatu itu sudah hilang ( atau nyaris hilang ).
Di balik hal-hal buruk yang terjadi, disitulah hal-hal baik juga terjadi.
Tidak dipungkiri, kita baru sadar akan berharganya sesuatu, saat sesuatu itu sudah hilang ( atau nyaris hilang ).
Di balik hal-hal buruk yang terjadi, disitulah hal-hal baik juga terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar