Pages

Senin, 04 Oktober 2021

Piring di Perjamuan

Kita mengenal sebuah karya seniman terkenal berkebangsaan Italia, Leonardo da Vinci, lukisan berjudul “The Last Supper/Perjamuan Terakhir” yang terselesaikan di akhir abad XIV. Di beberapa rumah orang nasrani Indonesia dipastikan lukisan serupa (tentunya bukan yang asli), terpaku di tembok ruang utama sebagai pengingat makna. Pada lukisan tergambar Yesus beserta kedua belas murid, duduk bersama di sebuah meja panjang. Pada meja terdapat cawan-cawan anggur dan beberapa hidangan yang tentunya diletakan di atas piring-piring. Piring-piring hadir dalam perjamuan. Leonardo melukiskan piring terlihat dari material logam dan keramik. Lukisan merupakan imajinasi dari pelukis, dapat berbeda dengan kejadian sebenarnya. Yesus dan para murid belum tentu duduk di kursi, melainkan lesehan dengan meja pendek. Dan bisa saja piring bukan terbuat dari logam atau keramik melainkan batu atau tanah. 

Terlepas dari cara menata di meja dan bahan pembuatnya, piring dipastikan keberadaannya pada acara itu. Piring menjadi saksi bisu bagaimana cara Yesus memecah-mecah roti dan minum anggur memperingati kesakralan, juga menjalani waktu-waktu terakhir bersama para murid.


Orang awam mimikirkan piring hanya sebatas salah satu peralatan makan sehari-hari. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), piring merupakan sebutan bagi wadah berbentuk bundar pipih dan sedikit cekung (atau ceper), terbuat dari porselen ( seng, plastik), tempat meletakkan nasi yang hendak di makan (tempat lauk pauk dan sebagainya). Kenyataannya, kita menemui tidak hanya piring berbahan porselen, seng dan plastik, piring juga ditemukan berbahan, kaca, kayu, bambu, stainless, tembaga, bahkan batu.

Sejarah mencatatkan, piring-piring ditemukan pada beberapa makam tokoh terkenal di Indonesia masa lalu. Piring menjadi dekorasi, tertempel pada tembok yang tentu saja dipasang bukan saat makam dibangun, melainkan merupakan ornamen susulan guna memperindah makam. Piring-piring kebanyakan berasal dari Tionghoa dan Inggris. Pada piring buatan Inggris terdapat teks Melayu. Kisah piring-piring itu ditemukan di buku berjudul “Sultan, Pahlawan dan Hakim – Lima Teks Indonesia Lama”(KPG,2011). Piring-piring serupa masih bisa dibeli pada akhir abad XIX, tentu saja untuk dijadikan barang antik dan koleksi , meski pada awal pemakaiannya merupakan piring untuk jamuan. Di antara barang antik berupa piring, terdapat piring bertulisan Arab (tapi yang harganya murah, berbahan kaca dan buatan Indonesia). “Di tepi piring tersebut tertulis lima kali kalimat Bismillah al-rahman al-rahim, yang kelihatan ketika piring berisi makanan, tetapi kemudian seiring makanan disantap, berangsur-angsur tersingkap tulisan di tengah piring berupa Alhamdullah.” Dilihat dari niatnya, pencipta piring rindu para pengguna piring teringat pada sang Pencipta. Mensyukuri nikmat yang tersaji seraya mengucapkan “Dengan nama Allah” pada saat mulai menyantap makanan. Dan setelah isi piring tuntas berpindah ke perut, maka terucaplah “Terima Kasih.” Pelarangan pemakaian piring semacam itu terjadi pada tahun 1984 karena dianggap tidak patut menaruh makanan di atas nama Allah. 

Piring sudah tidak bertuliskan, manusia tetap tidak alpa berdoa. Manusia bertemu piring selalu mengingatkannya pada Pencipta, sang penyedia berkat di piring. Tiga kali memegang piring, tiga kali juga ucapan syukur terucap. Lama-lama manusia latah mengucap, tutur doa sekedar rutinitas, formalitas serta pencitraan saat perjamuan.

                               

Pemerintah Indonesia pernah pusing tujuh keliling saat memikirkan piring. Kejadian berlangsung sebenarnya, saat Soekarno ingin menjamu tamu pertamanya Jenderal Romulo dari Filipina. Perjamuan ingin diadakan di kediaman resmi Istana Kepala Negara. Istana berwarna putih ini, dulu bekas kediaman gubernur zaman Belanda dan pada masa Jepang merupakan rumah pembesar. Orang-orang Jepang mengangkut semua barang sebelum pergi. Sekarang, di masa revolusi, istana hanyalah sebuah gedung tanpa perabot. Soekarno kebingungan memperoleh piring, bertanya pada Mutahar yang bagian mengurusi protokol, bagaimana cara mendapatkan piring. “Sama sekali tidak sulit,” kata Mutahar dengan tenang. “Aku akan pergi ke Oen, restoran Tionghoa terkenal itu, dan meminjam piring dan sendok-garpu dari perak.” (Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 2019). Piring sukses dipinjam, jamuan negara terlayakkan dengan adanya piring, malu tak jadi tersirat di hadapan para negarawan. Perbincangan politik berjalan aman terkendali berkat piring-piring pinjaman. Piring itu penting!



Piring-piring tidak mau kalah dengan manusia, mereka punya aturan sendiri. Tata letak di meja berdasar tugas yang diemban. Penataan piring di jamuan diatur selayaknya mengatur posisi tempat duduk para tamu. Piring untuk roti tidak mungkin diposisikan sebagai wadah makanan utama. Piring untuk tatakan cangkir juga tidak mungkin dijadikan piring sup. Cara mengatur piring, menyajikan hidangan serta pelayanan perjamuan menjadi tolok ukur demi mendapatkan kesan para tamu terundang. Martabat tuan pemilik jamuan dipertaruhkan lewat jamuan. Jaman boleh berganti, piring tetap menjadi barang berharga demi menjaga martabat tuan rumah saat mengadakan jamuan.

Undangan makan kaum bangsawan, pejabat dan milyuner masih saja menganut paham ribet dan tertata. Pemilihan piring tidak sembarangan, piring berupa koleksi terbatas dari desainer berkelas dengan harga tak terjangkau kaum awam. Piring bicara prestise dan kekayaan. Di depan piring ada orang-orang berbincang, bicara ekonomi, politik, bicara pernikahan juga warisan keluarga. Makan bersama menggunakan piring bermotif sama, menyantap menu yang sama serta duduk memutari meja yang sama, bukan jaminan visi akan sama. Sebagian tetap akan menjilati piring hingga bersih demi pelicin negosiasi. 

Piring turut menjadi saksi perebutan harta, tahta, bahkan wanita. Tak jarang menerima deraian air mata dan hancur berkeping-keping, terbanting akibat pelampiasan tujuan tak tersampaikan. Piring pun terabaikan, ditinggal manusia penyimpan emosi tak terucap dengan hidangan utuh di atasnya. Piring diam, menjadi saksi keserakahan, skandal, perseteruan para manusia. Tak perlu heran jika suatu ketika piring-piring ini berpikir ingin menjadi piring kertas atau piring sterofoam yang hidupnya tidak disia-sia, diidamkan dan dihargai dalam kumpulan orang-orang pensyukur hidup.

Jamuan masih belum selesai dituturkan, piring masih bercerita. Di dalam sebuah drama Korea, diperlihatkan sebuah rumah sederhana di tepi pantai Gongjin. Di seberang rumah, tidak terlalu jauh, nampak sebuah mercusuar berwarna jingga. Seorang nenek menjadikannya sebagai hunian selama 50 tahun. Menikah dan melahirkan anak di rumah yang sama. Anak sudah dewasa, berkeluarga dan meninggalkan rumah. Nenek tinggal sendirian, rumah terasa hampa. 

Hingga suatu ketika, para tamu dari luar daerah mendatangi. Menjalin kedekatan, mengangkat perbincangan untuk menghilangkan sepi. Jamuan sederhana langsung digelar. Nenek segera mengeluarkan semua piring yang dia punya, yang dulu dipakai bersama anak dan cucunya. Piring sudah bertahun-tahun meringkuk di lemari. Nenek memasak masakan andalannya, menggunakan bahan seadanya, ditaruh di atas piring-piring sederhana yang lama tak bertemu tamu. Bagi tamu, masakan rumah itu spesial, masakan lezat yang tak dapat diperoleh di restoran meski membayar mahal. Makanan yang memberikan kehangatan suasana. 

Usai jamuan, piring dan sendok tuntas melakukan tugas, berdesakan dalam tumpukan  bercampur bekas makanan di tempat cuci. Piring dan penggunanya sama-sama terbahagiakan dan terpuaskan. Kebersamaan itu salah satu hal terbaik dalam hidup.

Manusia tak mungkin menjauhkan diri dari piring. Terputus dari piring berarti pula terputus dari hidup. Piring akan selalu ada, guna menunaikan tugasnya dalam menampung lauk pauk sambil mewadahi doa, sejarah, skandal, kemunafikan, kesedihan, juga tawa kehangatan.


Indri K.
Pengen ngicipin masakan Nek Gamri ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...