Pages

Jumat, 07 Februari 2020

Review Film "Semes7a"



Semes7a ( dibaca Semesta ) menyuguhkan 7 cerita propinsi Indonesia, dari 7 sosok inspiratif masa kini yang berjuang untuk pelestarian alam,  beserta 7 kisah mereka bersama Sang Pencipta. Ya.. karena 7 adalah angka sakral dalam beberapa agama dan kepercayaan maka menyelipkan "7" di dalam judul sangat mewakili apa yang akan disampaikan disini.

Saya bukan pengamat film Indonesia tapi saat melihat portofolio dari orang-orang di balik pembuatannya, membuat saya yakin bahwa film ini dibuat sangat serius dan artistik sehingga durasi 88 menit tidak terasa.

Berbekal isu krisis iklim di 7 daerah dari Timur sampai Barat , Utara sampai Selatan Indonesia, film besutan sutradara Chairun Nissa  tidak sekedar menampilkan informasi dan fakta , namun juga memadukannya dengan cinematography keindahan alam Indonesia dari berbagai sisi ditambah dengan tata suara yang elegan. Tidak mengherankan jika film ini terpilih sebagai nominasi Festival Film Indonesia 2018.

Note : tulisan di bawah mengandung spoiler !



Kisah pertama ,dibuka dengan perayaan hari raya Nyepi umat Hindu Bali, karena saya terlambat memasuki studio saya hanya mendapatkan kata-kata penutupnya 😅. Dengan tradisi Nyepi,  Bali bisa mengurangi jumlah emisi secara fantastis dalam satu hari. 


Kisah kedua bercerita kehidupan masyarakat Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat. Akibat illegal logging, kehidupan mereka turut terancam, terbukti dengan semakin susahnya mendapatkan hasil dengan berburu atau menangkap ikan. Melalui  adat, mereka menganut prinsip dimana mereka tinggal itu menjadi milik bersama, hal itulah yang membuat mereka juga harus bertanggung jawab bersama kepada Sang Kuasa untuk kelestarian hutan. 

Beralih ke masyarakat di desa Bea Muring, Nusa Tenggara Timur. Kisah ketiga diiwakili oleh Romo Marselus sebagai pencetus ide melihat kelemahan generator yang berisik dan boros energi sebagai penghasil  listrik di malam hari dan menggantinya dengan memanfaatkan air sebagai energi yang terbarukan menjadi PLTA. Menyisipkan sebuah renungan dari Kitab Kejadian, bahwa Tuhan menciptakan alam dan seisinya untuk manusia kuasai, jadi sudah tugas manusia untuk mensyukuri dan selalu merawat alam yang sudah Tuhan ciptakan. Sayang sekali walaupun pesannya kuat namun keindahan visual yang dipertontonkan disini agak melemah dibanding dua cerita sebelumnya, walaupun tidak terlalu mempengaruhi kesan penonton.


Mazmur 104:24-25  Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu. 
Lihatlah laut itu, besar dan luas wilayahnya, di situ bergerak, tidak terbilang banyaknya, binatang-binatang yang kecil dan besar.

Lagi, sebuah ayat untuk mencitrakan kuasa Tuhan lewat kekayaan alam menjadi penggerak para wanita di Kapatcol, Raja Ampat, Papua Barat melestarikan kekayaan laut. Bisa dibilang bagian keempat ini paling menonjok dari segi visual. Keindahan alam Raja Ampat memukau saya untuk tidak bergeming sedetikpun. Pesona hasil laut yang tidak pernah dilihat di pasar-pasar kota Jawa, seperti tripang /ketimun laut raksasa bisa disaksikan disini. 



Keindahan sinematik yang memanjakan mata berusaha disajikan melalui lompatan para penyelam wanita dan adegan bawah laut dengan berbagai biota warna warni.  Namun kita juga dibuat miris , sedih dengan mati dan memutihnya terumbu karang akibat krisis iklim. Kisah keempat mengangkat Almina Kacili sebagai penggerak kaum perempuan melaksanakan "Sasi". Sasi adalah kesepakatan bersama untuk membuka dan menutup suatu wilayah guna mengelola sumber daya alam. Sasi memberi alam waktu untuk beristirahat dan bertumbuh sehingga alam lestari dan hasil yang didapat jauh lebih bernilai. Meski demikian tetap saja ada oknum yang melakukan pencurian dengan menggunakan alat yang merusak, berbeda dengan para penyelam wanita yang konvensional hanya berbekal kaca mata renang. Kepiawaian mereka membuat kita berdecak kagum, mengingatkan saya pada "Haenyeo" para penyelam wanita di Pulau Jeju.

Beralih dari lautan , kisah selanjutnya membawa kita ke sebuah hutan di desa Pameu, Aceh, dimana Gajah Sumatera menjadi tema yang sebenarnya unik dan menarik  untuk diangkat menjadi korban rusaknya hutan. Apa daya justru di sesi ini lebih ditekankan pada gajah yang masuk dan merusak permukiman penduduk. Warga bersikeras melawan dan meracun gajah masuk kampung yang menyebabkan kerugian.

Namun M. Yusuf selaku imam desa menyadari bahwa rumah gajah yang dirusak dan dieksploitasi ulah manusia yang membuat gajah bertindak demikian. Meninggalkan pertanyaan hingga akhir cerita , saya bertanya-tanya pada teman, lha terus solusinya bagaimana ? Teman menjawab "Ya itu ..solusinya berdoa". Memang kembali lagi ke konsep awal bahwa doa merupakan jalan manusia mendapatkan jawaban dari Pencipta. Namun tetap saja bagi saya masih meninggalkan rasa penasaran bagaimana warga nantinya bisa berdamai dengan gajah. Pada akhirnya, kisah ini ditutup dengan adegan keluarga gajah berjalan dalam hutan membelakangi penonton. Sebagai refleksi untuk kita bahwa akhirnya kaum gajah terpaksa mengalah dan  menurun populasinya karena keegoisan manusia.

Kisah keenam memperkenalkan kehidupan selaras dengan alam oleh keluarga  Pak Iskandar Waworuntu dari Imogiri, Yogyakarta mendirikan padepokan "Bumi Langit" , diawali dengan membeli lahan yang tandus untuk dikelola. Ilmu permakultur dipakai keluarga tersebut memaksimalkan lahan sehingga produktif , yang dihasilkan sehat dan bisa memenuhi kebutuhan konsumsi mereka. Semua yang keluarga tersebut lakukan sesuai dengan prinsip "Thayyib" dan menyatukan diri dengan alam. 


Kisah ketujuh sekaligus penutup diwakili oleh Jakarta yang penuh sesak sehingga ruang hijau menjadi sesuatu yang langka. Soraya Cassandra bersama suaminya mempunyai visi menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat. Melalui "Kebun Kumara" di bekas lahan pembuangan akhir, mereka melakukan penghijauan , urban-farming dan mengedukasi masyarakat supaya turut serta dalam penghijauan.



Semes7a memang tidak mungkin mewakili semua masyarakat dan adat istiadat di Indonesia yang sangat amat beragam,  tapi bisa menjadi pengantar supaya manusia ingat bahwa bumi ini adalah titipan Tuhan dan kita hanya bertugas untuk menjaga dan melestarikannya. 

Seperti kata Nicholas Saputra sebagai salah satu produser ( bersama dengan Mandy Marahimin ),"Sebab, apapun latar belakang agama, budaya, profesi dan tempat tinggalmu, kita tetap bisa berbuat sesuatu untuk alam Indonesia dan dunia yang sekarang tengah mengalami krisis".

Meskipun tidak ditutup dengan sebuah klimaks dan solusi yang eksplisit, film ini sangat reflektif dan membuka pandangan kita tentang pentingnya lingkungan, terutama penekanan bahwa krisis iklim adalah masalah bersama dan saya sebagai penonton merasa tercerahkan.
-------------

Bersama beberapa teman , dan keluarga dari jejaring CMid Semarang dan Jarilima kami mengadakan nobar film dokumenter "Semes7a" di salah satu bioskop Semarang pada 6 Februari 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...