Pages

Senin, 13 September 2021

Rumah dan Penghuninya

Jepang, paska Perang Dunia II, musim panas tahun 1958, terlihat pada film animasi “Tonari no Totoro”(1988)  besutan Studio Ghibli. Keluarga profesor arkeologi universitas, Tatsuo Kasukabe harus pindah ke pinggiran Jepang, mencari rumah yang berdekatan dengan rumah sakit yang merawat istrinya. Pindah ke rumah baru bersama kedua putrinya, Satsuki berusia 10 tahun dan Mei 4 tahun. Jalan menuju rumah terdapat sungai yang ber-ikan dan ber-kecebong. Di seberang rumah, sawah-sawah membentang. Mereka membeli rumah tak berpagar menyatu dengan hutan berpohon kamfer dan lahan hijau luas mengelilingi. Bangunan rumah sudah reyot, terbuat dari kayu yang sebagian sudah lapuk. 


Bangunan rumah memperlihatkan rumah tradisional dengan lantai panggung, tidak menempel di tanah, untuk mengurangi kelembaban demi mencegak pelapukan kayu. Ruang-ruang disekat dengan fusuma (pintu geser dengan rangka kayu berlapis kertas tembus cahaya). Lantai ber-tatami mengisi semua ruang. Mereka bertiga tidur menggelar futon (kasur tidur) di atas tatami saat malam tiba. Kamar mandi berisi bak yang terbuat dari batu berkeramik dengan pipa untuk mengalirkan air ke bak.



Salah satu ruang, terbuka menghadap ke arah halaman depan, dipenuhi oleh buku-buku yang ditumpuk tak beraturan serta sebuah meja untuk menulis penelitian. Itulah ruang kerja ayah, dengan pintu yang bisa dibuka lebar selain untuk sirkulasi udara juga dapat untuk mengawasi anak-anak yang bermain, berlarian di halaman, senang menikmati indahnya alam. Kala itu hidup masyarakat penuh kesengsaraan, keluarga tercerai berai merupakan hal lazim, negara berjuang untuk pulih setelah keterpurukan akibat Perang Dunia II. Suatu kebahagiaan bagi keluarga yang masih bisa hidup bersama dan memiliki rumah meskipun reyot, apalagi banyak buku di dalam rumah, menandakan hidup mereka makmur sejahtera.



Masih di tahun 1958, sisi Jepang lain, Tokunaga memutuskan tinggal bersama neneknya di Saga, hidup mereka terlihat jauh dari kata sejahtera. “Rumah itu secara luar biasa tampak menyatu dengan rumpun pampas. Rumah yang paling menyedihkan. Rumah yang sungguh merupakan penggambaran tepat gubuk bobrok beratap jerami dalam kisah rakyat Jepang. Sudah begitu, separuhnya di bagian yang jeraminya terlepas tampak ditempeli lempengan timah.” (Yoshichi Shimada, Nenek Hebat dari Saga, 2016: 32). Rumah nenek Tokunaga jelas terbayang mengerikan, jauh bila dibanding rumah Satsuki dan Mei, meski lapuk masih berbentuk rumah kayu yang bagus. Rumah nenek Tokunaga terbayang bukan sebagai rumah yang layak huni, dan bisa hilang tertiup taifun kapan saja. Namun demikian, biarpun bobrok, rumah mereka masih dapat membantu melindungi mereka dari hujan.

Di rumah inilah Tokunaga belajar menjalani hidup miskin namun bersahaja. Nasehat terutama sang nenek, “Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria.” Nenek mengajarkan untuk selalu mensyukuri kemiskinan, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Semua orang berhak menentukan dan membangun kebahagiaannya sendiri. Kebahagiaan bukan ditentukan oleh keindahan dan kemewahan rumah yang dihuni, namun ditentukan oleh perasaan dan percaya diri penghuni.


Meninggalkan tahun 1958 menuju tahun 2021. Bentukan rumah seperti rumah Satsuki-Mei ataupun rumah neneknya Tokunaga tentu saja sudah tidak mudah ditemui. Memang bangunan tradisional kayu tidak punah sepenuhnya, masih banyak ditemui di banyak hunian pribadi dan pedesaan. Namun tentu saja bangunan berbeton dan berkaca serta bertingkat tinggi menjadi penguasa. Arsitektur modern bergaya internasional turut mendominasi hunian masyarakat perkotaan khususnya. Bangunan-bangunan tinggi dengan curtain-wall dan tirai kaca menghadirkan sedikit banyak kesamaan bentuk arsitektur. Kotak-kotak, tinggi dan penuh kaca. Tirai-tirai kaca memberikan pengaruh-pengaruh visual yang sama, tanpa memperhatikan kebutuhan pemakainya. (F. Christian J. Sinar Tanudjaja, Arsitektur Modern, 1993 : 34). Keunikan façade bangunan hilang, tergantikan oleh keseragaman, dengan alasan modernisasi bergaya internasional. Kebutuhan penghuni tak lagi diakomodir oleh bentuk dan fungsi bangunan, sebaliknya penghuni yang harus beradaptasi menyikapi keseragaman bentuk.

Kemajuan sektor teknologi dan industri menghadirkan para pekerja kantoran yang menghabiskan keseharian di luar rumah. Harga tanah membumbung tinggi, tingkat berumah-tangga rendah, menjadikan ukuran hunian pribadi semakin mengecil, menyesuaikan daya beli dan kebutuhan para pekerja. Rumah hanya jadi tempat beristirahat sejenak, tidak memerlukan ruang yang luas. Orang kota hanya butuh hunian satu kamar untuk semua kebutuhan.

Pada film “Kotaro lives alone” tahun 2021, menceritakan Kotaro, seorang anak laki-laki berumur 5 tahun yang hidup sendiri. Dengan bantuan yayasan sosial yang membantu mengurus biaya hidupnya, dia dapat menyewa salah satu ruang di sebuah bangunan apartemen yang keseluruhannya hanya terdiri dari enam kamar.



Menurut Ernst Neufert, seorang ahli arsitektur asal Jerman, apartemen adalah “Bangunan hunian yang dipisahkan secara horizontal dan vertikal agar tersedia hunian yang berdiri sendiri dan mencakup bangunan bertingkat rendah atau bangunan tinggi, dilengkapi berbagai fasilitas yang sesuai dengan standar yang ditentukan.” .

Sedang menurut KBBI mengartikan apartemen sebagai tempat tinggal (terdiri atas kamar duduk, kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan sebagainya) yang berada pada satu lantai bangunan bertingkat yang besar dan mewah, dilengkapi dengan berbagai fasilitas (kolam renang, pusat kebugaran, toko, dan sebagainya).

Bila menengok kedua pengertian apartemen di atas, bangunan yang terlihat dalam film “Kotaro Lives Alone” tidak layak disebut apartemen. Tidak ada fasilitas memadai, bahkan di masing-masing kamar hanya ada toilet untuk berak tapi tidak tersedia kamar mandi untuk membasuh diri. Untuk keperluan mandi, para penghuni harus berjalan sekitar 1 km menuju ke pemandian terdekat. Mandi tidak gratis, mandi di pemandian umum harus bayar. Bisa dipastikan mereka tidak akan mandi dua kali sehari!

Masing-masing ruang apartemen baik milik Kotaro maupun kelima orang tetangga, semuanya tidak bersekat. Kegiatan sehari-hari dari bangun hingga tidur dilakukan dalam satu ruang. Ciri khas ruangan dan aktivitas masyarakat Jepang masih tetap dipertahankan. Ruang masuk disambut dengan ruang genkan, tempat dimana menaruh sepatu, baru kemudian ruang utama terletak satu undakan setelah genkan. Lantai tetap terbuat dari kayu bertatami dan bermeja pendek.

Masyarakat modern Jepang masih mempertahankan aktivitas tradisional, hampir semua hal dilakukan di lantai. Jadi untuk perabot hanya butuh hal-hal mendasar. Sebuah meja pendek tersebut dapat mencakup berbagai fungsi, sebagai meja tamu, meja ruang keluarga, meja makan, meja bekerja hingga meja belajar. Dapur di salah satu sisi dengan kompor dan tempat cuci, lemari untuk pakaian dan buku-buku, meja menaruh televisi, yang terakhir kasur lipat yang digelar saat malam. Kehidupan minimalis merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Jepang. Mahalnya nilai tanah dan bangunan membuat mereka dapat menerima tinggal di tempat yang sederhana. Keterbatasan ruang turut membentuk perilaku penghuni. Bangunan rumah tidak perlu dimiliki, rumah cukup menyewa, asal bisa ngaso sejenak. Bagi Kotaro, rumah adalah tempat dimana dia selalu pulang, tempat dimana seseorang menyambutnya dengan “Okaerinasai” (Selamat datang kembali). Itu sudah cukup.



Indri - September 2021
rumah = okaerinasai 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...