Pages

Kamis, 12 Agustus 2021

Mata yang Melihat

“Mata bukan hanya berfungsi melihat, 
mata melihat dalam arti mencari makna dalam dunia 
karena tanpa makna hidup manusia tiada artinya. “ 
(Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, 2016:129)



Memotret merupakan salah satu kegiatan yang berhubungan erat dengan mata. Kegiatan potret-memotret hal yang lumrah dilakukan di masa kini. Memotret di tahun 1900-an hanya bisa dilakukan oleh kalangan terbatas karena biaya yang tinggi. Memotret yang dulu hanya dilakukan oleh fotografer dengan kamera berukuran besar, kini bisa dilakukan oleh semua orang. Kamera potret tersedia di semua gawai. Produsen gawai berlomba-lomba meningkatkan kualitas potret yang dihasilkan. Tidak puas dengan satu lensa, diberilah dua , tiga, hingga lima lensa dalam satu buah gawai. Masing-masing lensa mempunyai tugas masing-masing. Terdiri dari lensa lebar biasa untuk foto lansekap/pemandangan, lensa potrait dengan bokeh, lensa makro untuk obyek-obyek kecil, lensa tele  yang bisa memotret jarak jauh, dan lensa swa-foto yang terletak di atas layar gawai. Dibekali beragam lensa menjadikan pengguna awam bak fotografer profesional. Hingga lahirlah paradigma, bahwa kamera canggih dan terbaru akan menghasilkan foto yang terbaik. Manusia diperbudak teknologi dan kamera sebagai alat, makna keberadaan mata dan potret sesungguhnya jadi terlupakan.

Dalam buku “Time Traveller” (2013), Darwis Triadi menuliskan “Profesi fotografer itu mungkin tak ada bedanya dengan seniman lukis. Seorang seniman lukis, menangkap sebuah image untuk kemudian dituangkan melalui media cat dan kuas di atas kanvas. Tentu saja ada ikatan batin yang kuat antara objek dan seniman yang bersangkutan agar lukisan yang tercipta memiliki jiwa.” Potret dan lukisan sama-sama merupakan karya seni yang mewakili mata, jiwa hingga kehidupan spiritual senimannya.

Sama-sama mengandalkan mata, jauh di masa sebelum ada kamera, para seniman lukislah yang menjadi perekam kehidupan masyarakat. “Portrait of a Beauty”, sebuah film fakta-fiksi Korea Selatan, diadaptasi dari novel “Painter of The Wind” mengambil latar Joseon sekitar tahun 1770-an saat pemerintahan Raja Jeongjo. Seorang pelukis muda kerajaan bernama Shin Yun Bok mendapat tugas dari gurunya, Kim Hongdo untuk membuat lukisan genre, lukisan yang menggambarkan kehidupan orang-orang biasa beserta kegiatan mereka. Demi menghasilkan lukisan yang realistis, Yun Bok menjelajah perkampungan masyarakat. Melihat pandai besi bekerja , menyaksikan prosesi pernikahan rakyat biasa. Mengamati wanita yang sedang menenun, anak-anak dengan permainan tradisional serta melihat orang beramai-ramai menari di sebuah festival. Tidak jauh dari keramaian festival, dari balik bebatuan di dekat aliran sungai, Yun Bok melihat para gisaeng membersihkan diri dan berendam di sungai. Lekas, Yun Bok mengambil kuas dan kertasnya, bersemangat melukiskan apa yang dilihatnya. Empat wanita memakai hanbok, dengan tatanan rambut eon’jeun mori, serta bertelanjang dada, mereka mandi dan bermain air. Di tepi aliran sungai ada seorang yang bermain ayunan, seorang menggerai rambut sambil berbincang. Tak ketinggalan, dua biksu cilik mengintip nakal di antara bebatuan, menikmati pemandangan terlarang dalam hidup mereka. Mendapatkan kesenangan dari melukis, Yun Bok semakin mengorek area gelap kehidupan masyarakat yang selama ini tidak terlihat. Menghasilkan lukisan-lukisan satire namun tidak berniat mengejek siapa pun, menunjukkan kelemahan alami pikiran yang mudah digoda dan dipengaruhi oleh cinta. Para pejabat melihat lukisan Hyewon sebagai sesuatu penghinaan dan vulgar. “Lukisan ini tampak tidak senonoh bagi semua orang yang memiliki mata. Melihat sungai kecil dan bebatuan di latarnya jelas ini penggambaran anatomi wanita."  Kim Hongdo sang guru membela “Lukisannya tidak vulgar. Penafsiran itu selalu berdasarkan mata pemiliknya. Lukisannya menyindir pelacur yang boros dan pejabat yang korup. Di mata orang berpikiran kotor, lukisan ini bisa tampak tidak senonoh.”. Bagi Yun Bok, matanya melihat kejujuran kehidupan masyarakat, Namun bagi mata pemandang, mereka melihatnya sebagai pelanggaran moral asusila dan kesopanan.

Scenery on Dano day  karya Shin Yun Bok

Karena mata yang berbeda, seni dan kesopanan seringkali bertabrakan, terkhusus negara-negara Timur, Indonesia tak terelak. Baik seniman lukis, fotografer hingga pekerja film tidak bisa sebebas-bebasnya, secara eksplisit menyajikan apa yang mata mereka lihat. Ekspresi seni menjadi terbatas dan dibatasi. Sensor diberlakukan demi melindungi mata masyarakat dari melihat pemandangan ‘tak sopan’, yang katanya bisa merusak moral. 
 “Pemberlakuan sensor pada film dikuatkan tuduhan film bisa merusak moral penonton Indonesia. Film berpengaruh besar dan sensor dianggap sanggup menjaga Indonesia tetap sopan.” (Bandung Mawardi; Bersekutu Film, Majalah Buku;2021 : 18). Makna mendalam yang ditangkap mata pencipta seni semakin berjauhan dengan makna yang diterima oleh mata para pemandang karena alasan moral dan kesopanan. Sama-sama melihat namun beda penafsiran dan cara memandang dunia. Manusia pemandang juga berhak bahagia untuk dapat membaca dunia yang luas melalui mata pencipta potret, lukisan dan film.


Indri 
12 Agustus 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...