Setiap tahun saat Idul Adha, keluarga kami selalu mendapat berkat dari tetangga mushola. Kami ikut menikmati pembagian daging kurban yang berupa kebo, sapi atau pun kambing. Tahun ini berkat yang kami dapat lebih dari biasanya, termasuk berlebih untuk sekeluarga yang hanya beranggota tiga orang.
Bosen dengan masakan yang biasanya, tahun ini aku mencoba mengolah daging kambing jadi Tengkleng. Aku sendiri gak begitu yakin dengan rasa tengkleng yang disebut enak itu seperti apa, karena biasa hanya menyantapnya sepiring kecil di acara kondangan dipadukan dengan sate kambing. Jarang banget beli kuah tengkleng untuk konsumsi keluarga, karena paksu anti ma olahan kambing-kambingan, maklum takut kena penyakit orang 'dewasa' 😆.
Tengkleng punya sejarah yang unik. Ternyata, dulu, tengkleng merupakan makanan rakyat jelata saat penjajahan, dengan bahan utama yang merupakan 'buangan' yaitu tulang dan jeroan, kemudian dibumbui dengan bumbu gule. Saat disantap, tulang yang habis dibrakoti, klontangan saat ditaruh ke piring, berbunyi kleng! kleng! masa itu rakyat miskin makan dengan piring seng (kalau sekarang piring ini justru diburu oleh cafe/resto karena nuansa vintage-nya). Begitulah "Tengkleng" dinamai.
Nah kembali ke resep, setelah baca sana-sini akhirnya memutuskan resep ini:
Bahan:
1 kg tulang dan daging kambing yang sudah dipotong-potong (rebus dulu bentar supaya bau dan kotoran hilang)
Bumbu yang dihaluskan:
10 bawang putih
1 sdm tumbar
1 sdt jinten masak
Laos 2-3 cm
Kunir 2 cm
Jahe 3 cm
5-6 Kemiri (sangrai dulu)
3 daun salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar